Kabut pagi ini terasa lebih pekat dari biasanya. Dinginnya menusuk hingga ke tulang dan sendi. Begitu pun kaki Darto mulai
dirasa ngilu tertusuk dingin pada setiap
kayuhannya. Namun begitu, kaki keriput tak
beralas itu tak jua menghentikan melodinya. Tetap menjejah pedal yang sudah tak berbantalan, untuk setia mengayun menuju
para pelanggannya yang sudah menunggu diteras rumahnya masing-masing.
Sesekali dalam sepersekian menit, tangan
kiri Darto bergerak mengusap mukanya demi menepis sapaan sang kabut yang
menitipkan embun diwajah usang itu. Lalu cepat tangannya kembali menyeimbangkan
kemudi onthel tuanya.
"Ada apa dengan Lasmi?"
gumam Darto ketika wajah istrinya tiba-tiba
mengusik benaknya.
Tak biasanya Lasmi melepasnya
dengan gusar. Seolah istrinya itu hendak menyampaikan sesuatu namun terkunci rapat dibalik
lidahnya, tak dapat meloncat keluar dari
mulutnya.
Darto sangat mengenali
istrinya. Dia tak bisa dibohongi dan Lasmi pun tak pandai berbohong
padanya. Namun entah kenapa Darto
mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang sebab musabab keresahan
istrinya. Mungkin Lasmi butuh waktu
untuk mengunkapkannya. Nanti pasti dia akan bicara, pikirnya menahan untuk bertanya.
"Hari ini ibu-ibu dikomplek
sebelah banyak yang libur ngantor bu,
mudah-mudahan jadi rejeki bapak ya bu?" ucap Darto pada istrinya
seraya sibuk menata sayur mayur dagangannya.
Kontan saja kalimat Darto itu pun
membuat Lasmi tak tega untuk menahannya pergi. Ada semangat yang tak mungkin
Lasmi pudarkan dari binar mata Darto. Akhirnya Lasmi hanya bisa tersenyum mengiyakan suaminya, kendati
keresahannya tak kunjung sirna.
"thit … Thiiiiiit…. "
"Astaghfirullah!!!"
pekik Darto serta merta terkagetkan oleh suara klakson truk pengangkut kayu.
Darto susah payah menenangkan kuda besi tak bermesinnya yang sempat oling
karena reflek kagetnya. Belum hilang kagetnya, lagi-lagi Darto direpotkan oleh
sepedanya yang oling. Kali ini sebanya adalah oleh ban sepedanya. Kondisi ban yang sudah tipis dantiba-tibaterantuk
lubang jalanan. Darimana munculnya
lubang itu? seolah tiba-tiba ada begitu saja, luput dari pandangan Darto yang
tertutup bayangan wajah tak biasa istrinya.
Sejurus kemudian Darto mulai
dapat menenangkan diri. Degup jantung Darto pun mulai berirama normal, sudah mulai terhitung satu2, tak lagi saling
memburu karena kaget bertubi tadi.
"Tak biasanya Lasmi
begitu" gumam Darto lagi, ia masih
terus dihantui wajah istrinya yang jelas menyimpan misteri resah ditambah
sebuah senyuman yang nyata dipaksakannya untuk menyenangkan Darto.
"aku akan menemukan
jawabannya ketika pulang nanti" hibur Darto kemudian, Darto tak berhasil menemukan
titik terang yang bisa mengarah pada jawaban keresahan Lasmi.
"Aaaarghhhhhhh...."
terdengar suara pekikan serak, kali ini tak sempat beristighfar.
Tak ada kelanjutan suara serak
itu lagi, kecuali suara riuh orang-orang yang berhamburan membentuk kerumunan.
Dalam sekejap, orang-orang berkerumun menenggelamkan tubuh renta Darto. Disusul
aroma serupa besi berkarat yang menyengat . Bau anyir menyergap seiring cairan
merah pekat mengalir dari belakang kepala. Menggenang semburat diaspal yang tak lagi
terlihat hitam kilaunya. Tangisan langit
yang tiba-tiba menderas seakan ingin
menenggelamkan serapah orang-orang pada pengemudi minibus putih yang tergopoh
menghilang. Pengemudi itu lari tak sudi untuk sekedar melipir melihat kondisi
pak tua dan keranjang sayurnya. Sementara putaran roda onthel tua itu mulai
melambat namun tak pernah benar berhenti. Sepeda Darto masih terabaikan
disebelah tubuh bersimbah darah itu. Tak seorang pun berani menyentuhnya.
Mereka takut disalahkan karena tubuh rent aitu tampak tak bergerak sedikitpun.
Akhirnya mereka hanya bisa menunggu yang berwajib datang untuk mengurusnya.
Darto tak pernah membuka lagi
matanya. Wajah Lasmi yang terakhir membayang disana sepertinya menahannya untuk
berpaling. Darto akan menyimpannya untuk mencari alamat akan jawaban keresahan
Lasmi ketika melepasnya setengah jam lalu. Dan Darto akan segera menemukan
jawabannya, begitu pula dengan Lasmi.